Syahrul Q.
“Cuma lima
juta aja.”
“Gila. Mahal banget. Loe mau meres gua,
Don?”
“Loe belom liat barangnya sih…, ini
bener-bener seleramu, Bro.”
“Emangnya seperti apa?”
“Hmmm…gimana yah? Susah gua jelasin. Mending Loe liat aja langsung.”
“Bening nggak?”
“Banget…!”
“Hmmm…. ya udah. Ntar
gua liat dulu barangnya. Kalau barangnya emang bagus, aku bayar. Bawa aja ke
tempatku.”
“Oke boss….”
Klek! Suara
handphone tertutup.
Aku jadi penasaran,
barang mewah seperti apa yang akan dibawa Dony malam ini. Biasanya tidak
semahal itu. Paling-paling 500 ribu. Anehnya lagi, katanya dia bisa membawanya
ke tempatku. Namun yang lebih aneh,untuk pertama kali ini aku merasa dadaku berdebar-debar,
ada rasa penasaran, dan seakan-akan gelisah menyelimutiku bersama kelamnya
malam.
Beberapa menit kemudian,
sebuah mobil berhenti di pintu gerbang yang tiada lain adalah milik Dony. Dari
balik jendela kamar, kulihat ia dengan susah payah menggendong sesuatu, barang
yang dijanjikannya. Hah, Dony benar-benar gila kali ini.
Dulu sekali, sekitar lima tahun yang lalu aku
mengenalnya di sebuah café dalam keadaan teler. Waktu itu, aku sedang frustasi
oleh sesuatu yang sangat sepele. Cewek. Ya, seorang cewek yang sangat aku
cintai, pergi meninggalkanku tiba-tiba setelah mendapatkan keinginannya. Aku duduk
sendiri di meja agak memojok, pesan minuman yang harganya agak mahal, dan membuatku
mabuk dalam waktu yang singkat. Lalu Dony datang tersenyum ramah, menawarkan
bantuan, menawarkan sesuatu, barang,
sebagai tempat aku lampiaskan kekecewaanku yang menyakitkan. Dan malam ini, ia
menawarkan barang yang sama, meski harganya jauh lebih mahal, karena mungkin
dianggap istimewa.
“Di mana kutaruh
barangnya, Bro?” tanya Dony setelah memasuki rumahku.
“Taruh di sofa aja dulu.”
“Apa nggak perlu gua
bawa masuk sekalian?”
“Tidak usah. Di sini
saja.” Dony menaruh barangnya di atas sofa. “Eh, gila Loe, Don. Dari mana Loe
dapatin barang mulus kayak gini?”
“Ini sih, bukan cuma
mulus, tapi istimewa!” jawab Dony sambil menggeliat.
“Emang apa istimewanya?”
Dony membisikkan sesuatu padaku. Suaranya terasa berat, menegangkan. Dan satu
kata yang dibisikkan itu membuatku puas dan akhirnya bersepakat mengenai bisnis
ilegal ini.
“Tapi gua gak bisa bayar
sekarang. Besok aja ya.”
“Waaaah, masa pake
ngutang segala?”
“Ini udah malam, Don.
Gua belum sempat ke ATM.”
“Tapi….” Suara Dony
seperti tercekat.
“Alaaah…..kaya Loe gak
tau gua aja. Ntar gua tambahin kalo emang mantap. Khusus buat Loe daaaah….”
Akhirnya, dengan berat
hati, Dony meninggalkan rumahku. Sementara aku, dengan mata berbinar melihat
barang yang dibawa oleh Dony. Memang Benar. Barang itu terlihat bening dan
mulus membuatku bergairah dan merasa tak sabar untuk menjajakinya. Ditambah
lagi dengan satu kata yang dibisikkan Dony yang sepertinya sakral. Perawan.
Hingga sejauh ini, aku
memang belum pernah merasakan kenikmatan menggagahi seorang perawan, apalagi
jika perempuannya cantik, bening, mulus, seperti yang kini tertidur di sofa
rumahku. Dadaku serasa berdebar lebih kencang, memacu jantungku yang
menggerakkan nafas birahi di sekujur tubuhku. Ini benar-benar istimewa. Dony
tidak salah.
Segera kugendong
perempuan mabuk itu ke dalam kamarku, menidurkannya di atas springbed, dan
memandang wajahnya sekali lagi. Setelah cukup puas menikmati kecantikan
wajahnya, perlahan kulepas kancing bajunya, meraba kulitnya yang sensual,
membelai rambut lurusnya, hingga matanya yang sembab terlihat jelas. Sepertinya
ia baru saja selesai menangis.
Tidak. Aku tidak mau
melakukannya sekarang. Jika aku melakukannya, berarti sama saja aku
memperkosanya. Aku bukan tipe seperti itu. Sebaiknya aku tunggu hingga dia
sadar. Lagian, tubuh ini terlalu mahal untuk kunikmati sendirian.
“Di mana aku?” gadis
cantik itu kini sudah terjaga dengan mata bengkak.
“Kamu di rumahku.”
Jawabku selembut mungkin.
“Kamu???” ia seperti
terkejut, dan segera membenahi pakaiannya yang sedikit terbuka. Lalu dia
menangis.
“Belum.” Kataku
mendekatinya seraya duduk di dekatnya. “Aku belum melakukan apa-apa, karena aku
tidak mau melakukannya tanpa kamu sadari. Nah, sekarang, setelah kamu sadar,
kamu mandi, berdandan cantik, baru kita bermain. Bagaimana?”
“Apa maksudmu? Oh tidak.
Aku tidak akan melakukan apa-apa.”
“Bukannya aku telah
membayarmu?”
“Bayar apaan?” Ia
langsung berdiri dan bergegas hendak pergi. Sialan, Dony menipuku. Anak ini
tidak bermaksud menjadi perempuan yang seperti itu. Tega sekali dia menjual
perempuan secantik ini. Untung saja aku belum membayarnya.
“Eit, tunggu dulu.”
Cegahku. “Jadi begini. Semalam, bukankah Kamu sudah sepakat sama Dony untuk
tidru bersamaku?”
Ia menggeleng. Lalu
menangis lagi. Begitu labil. Aku menjadi tidak tega melihatnya seperti itu. Mungkin
dia hanyalah perempuan remaja yang terjebak di tempat yang salah. Kemudian Dony
memanfaatkan kesempatan itu untuk menjualnya kepadaku, dengan iming-iming
perawan. Terlihat dari wajahnya, memang terlalu muda untuk melakukan hal yang
seseronok itu.
“Baiklah, maafkan aku.
Mari kuantar Kamu pulang.”
Udara pagi berhembus
lembut menyapa embun di dedaunan. Namun kota Jakarta telah sesak,
sehingga memeperlambat jalanku. Perempuan itu masih terisak oleh tangisnya yang
berkepanjangan. Dan entah mengapa, aura kecantikan yang dimilikinya berpendar
lembut, membuatku merasakan sesuatu yang lain.
Berselang satu jam
kemudian, aku tiba di rumahnya, mengantarnya masuk, berusaha bersikap sebaik
mungkin kepada ayahnya. Namun tanpa kuduga, laki-laki itu langsung menampar
gadis yang baru saja mulai kukagumi. Aku terhenyak melihat kejadian itu. Sekali
lagi, sang ayah memukul punggungnya dengan tinju yang keras hingga gadis itu
tersungkur ke lantai.
“Pak.” Cegahku segera. “Bukankah
ini anak Bapak? Mengapa Bapak begitu kejam? Kalau memang Bapak tidak suka sama
dia, mengapa Bapak melahirkannya?” entah, datang dari mana keberanianku seperti
itu ikut campur masalah keluarga orang lain.
“Ini adalah urusanku.
Ini adalah rumahku. Kamu pergi dari sini!”
Aku memang tidak
memiliki hak untuk ikut campur dengan keluarga itu. Akupun beranjak pergi dari
rumah itu. Namun gadis yang tersungkur itu tiba-tiba meraih kakiku, seakan
meminta perlindungan, atau mungkin ingin pergi dan memintaku mengantarnya.
Namun aku harus menghormati privasi sebuah keluarga. Tapi di satu sisi, aku
juga tidak bisa membiarkan seorang laki-laki kasar menyiksa anaknya sendiri.
Akupun meraih tangannya,
dan mengajaknya berdiri.
“Kamu mau ikut aku?”
tanyaku lembut.
Ia segera mangagguk
cepat, malah langsung menyeret tanganku keluar dari rumah besar itu. Setengah
berlari aku mengikuti langkahnya, menaiki mobil dan langsung pergi, meski sempat
aku dengar, ayahnya memanggilnya kembali.
“Terima kasih, Mas.”
Ucapnya lirih. “Sejujurnya aku tidak tahu lagi mau pergi kemana. Kemarin, aku
sempat tinggal bersama kakekku, tapi di sana
aku justru diperlakukan lebih kasar. Aku juga tidak tahu, keberadaan ibuku
entah di mana. Satu-satunya jalan adalah, aku harus pergi dari rumah. Kini aku
bingung….”
“Ibumu kemana?” tanyaku
turut merasakan kesedihannya.
“Entahlah. Ibu sudah
tidak peduli denganku sejak aku berusia lima
tahun. Akhir-akhir ini, aku hanya bergantung pada nenekku, namun ia juga tidak
bisa berbuat apa-apa, karena sikap feodal kakekku. Aku sebenarnya tidak tega
meninggalkan perempuan paruh baya itu, tapi aku juga tidak sanggup bertahan di sana. Aku sudah tidak kuat
lagi, Mas.”
“Sudahlah…, sebaiknya
kamu tenangkan dirimu...” Kataku sambil menggenggam tangannya yang lembut,
seraya menyalurkan keteguhan bathin.
Matahari kini telah
bersinar menembus kaca mobilku. Gadis cantik yang duduk di sebelahku kini
tersenyum. Ia tampak begitu cantik bila tersenyum seperti itu. Tapi tunggu, ia
tersenyum sendiri, sambil berbicara dengan suara yang sangat pelan. Entah apa
yang ia bicarakan, namun seperti sedang bercengkarama dengan seseorang. Sempat
air matanya keluar lagi, tapi setelah itu ia tersenyum lagi.
Aneh pikirku. Apakah hal
ini disebabkan oleh kedukaan yang sangat, akibat kekerasaan fisik dari
keluarganya, ataukah memang dia memiliki kelainan? Tidak mungkin dia gila. Tapi
mungkin saja bisa gila jika tidak
segera pergi dari rumahnya. Apa yang harus kulakukan dengan gadis ini?
“Kamu bicara sama siapa,
Dek?” tanyaku kemudian tidak tahan dengan sikapnya yang aneh.
“Sama ibuku.” Ia
tersenyum lagi.
“Ibu?”
“Ho oh…”
“Loh, bukannya tadi Kamu
bilang kalau ibumu sudah pergi sejak usiamu lima tahun?”
“Ooh…bukan… ini ibuku
yang lain.” Jawabnya santai.
Semakin aneh. Perempuan
ini sepertinya memiliki halusinasi, atau bayangan yang ia ciptakan sendiri,
mirip seperti kelainan jiwa yang disebut schizoprenia, keperibadian ganda, atau
sejenisnya. Bila ini dibiarkan, perempuan ini benar-benar akan menjadi gila,
kecuali ia bisa menata dirinya, kembali pada dunia realitas yang sebenarnya,
dan mungkin membutuhkan adanya orang lain yang bisa ia percaya untuk berbagi.
Namun hal ini membuatku berfikir juga tentang diriku, yang hingga kini masih
hidup tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa penataan diri, sehingga aku tidak bisa
menyebut diriku lebih baik dari perempuan ini.
Kembali kulihat matanya
yang kosong. Bulir-bulir kristal bening meluncur lagi dari pelupuknya,
membasahi pipinya yang merah merona. Sekali lagi kugenggam tangannya dengan
kuat…,
“Kamu tinggal bersamaku saja ya. Aku janji,
tidak akan menodaimu. Tapi aku justru akan menjagamu.”
“Terima kasih, Mas.”
Jawabnya sambil mengangguk terharu.